Kita
mungkin pernah mendengar tentang adanya senyawa kimia (dari obat kimia)
yang dicampurkan ke dalam jamu. Hal ini dapat membahayakan ginjal
karena dikhawatirkan terjadi reaksi antara jamu dan obat sintetis yang
-ternyata- saling bertolak belakang. Bisa-bisa terjadi reaksi
komplikasi.
Cara Kerja Jamu
Menurut Prof. Dr. Sumali Wiryowidagdo, Apt.,
Guru Besar Departemen Farmasi UI (seperti dikutip dari Majalah Nirmala,
2008), masyarakat sering tertipu dengan "kemanjuran" jamu oplosan karena
kurang memahami cara kerja jamu.
Cara kerja obat kimia
adalah menekan gejala dan langsung membunuh sumber penyakit (bakteri,
virus, jamur, dll). Sementara cara kerja jamu adalah merangsang dan
memberdayakan sistem pertahanan tubuh. Hal ini membuat terapi dengan
jamu membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan obat kimia.
Sebagai
contoh; pada saat kita demam karena flu. Jika menggunakan obat kimia,
obat akan bekerja secara langsung menurunkan demam di hipotalamus otak.
Sedangkan jamu akan membangun sistem imunitas tubuh untuk melawan
infeksi sehingga demam menjadi turun. Beberapa jamu mengandung herba
yang memiliki senyawa aktif berkhasiat tertentu.
Senyawa aktif tersebut
bekerja mirip obat kimia, seperti mengatasi peradangan (antiinflamasi),
melancarkan air seni (diuretik), menghilangkan rasa sakit (analgesik),
dan membunuh bakteri (antibakteri). Bedanya, reaksi jamu dalam meredam
gejala mungkin tidak sekuat obat kimia, sehingga memerlukan waktu lebih
lama dan harus dikonsumsi dengan dosis tertentu.
Penggolongan Jamu
Jamu dapat digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan status pengujiannya.
1. Jamu
1. Jamu
Inilah jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek
moyang kita. Dipasaran, biasa dijumpai dalam bentuk herba kering siap
seduh atau rebus, juga dalam bentuk segar rebusan (jamu godhog)
sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong. Demi alasan
kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan dalam bentuk pil
siap minum. Pada umumnya, jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan
resep peninggalan leluhur, dan belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan
keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun
temurun).
2. Herba terstandar
Sedikit berbeda dengan
jamu, herba terstandar umumnya sudah mengalami pemrosesan, misalnya
berupa ekstrak dalam kapsul. Herba yang diekstrak tersebut sudah
diteliti khasiat dan keamanannya melalui uji pra-klinis (terhadap hewan)
di laboratorium. Disebut herba terstandar, karena dalam proses
pengujiannya telah diterapkan standar kandungan bahan, proses pembuatan
ekstrak, higienitas, serta uji toksisitas (untuk mengetahui ada tidaknya
kandungan racun dalam herba tersebut).
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka
merupakan jamu dengan 'kasta' tertinggi karena khasiat, keamanan, bahan
baku serta proses pembuatan telah diuji secara klinis pada manusia.
Karena telah terbukti secara klinis itulah, jamu berstatus fitofarmaka
dijual di apotek dan sering diresepkan dokter (Nirmala, 2008).
Jika
dilihat dari kelompoknya, jamu yang dicampur bahan kimia pada umumnya
berasal dari kelompok yang pertama, sebab jamu-jamu tersebut sebagian
besar diproduksi secara industri rumah tangga. Dengan begitu, pengawasan
dari sisi higienitas, standar bahan, dan keamanannya masih kurang
sehingga memungkinkan terjadi kecurangan. Selain itu, jamu tersebut
diproduksi dalam skala kecil dan dipasarkan dalam lingkup terbatas. Jamu
juga tidak diwajibkan untuk memiliki izin atau nomor pendaftaran. Pada
skala tertentu, barulah produsen jamu wajib mendaftarkan diri pada Dinas
Kesehatan setempat atau terdaftar pada Industri Kecil Obat Tradisional
(IKOT) yang saat ini harus menyertakan Apoteker dalam proses pengawasan
produksinya. Sementara jamu yang dipasarkan secara luas, harus terdaftar
pada Dinas Kesehatan dan memiliki izin dari BPOM.
Jadi,
bersikap kritis dan tetap waspada terhadap peredaran jamu dipasaran
merupakan sikap terbaik bagi para penggemar dan pengguna jamu. Bijak
dalam memilih dan menggunakan jamu; asalkan pengolahan dalam pembuatan
jamu dan mengkonsumsinya dengan benar, mau warnanya hitam dan rasanya
pahit sekalipun, asalkan disertai gaya hidup sehat (misal minum air
putih), maka jamu aman digunakan. Let’s back to the nature!!
Sumber: Another Original Article by Bune.
0 comments:
Post a Comment